TEKNOLOGI INFORMASI
TEMA
TEKNOLOGI INFORMASI DAN PERILAKU SOSIAL
BUDAYA MASYARAKAT
JUDUL
TEKNOLOGI INFORMASI DAN SOSIAL BUDAYA
NAMA : HASMIATI
MAKASSAR
NIM : C1D3
18 036
PRODI : JURNALISTIK
TEKNOLOGI INFORMASI DAN SOSIAL BUDAYA
Keunggulan
dan kecanggihan teknologi informasi yang
telah berkembang saat ini, seperti telematik,
televideomatik, internet, dan
sebagainya, telah mampu menggeser, bahkan merubah
system pola hidup masyarakat. Dalam
perkembangannya teknologi informasi mampu memicu
gejala‐gejala
social dan budaya yang dapat dikatakan baru. Gejala-gejala tersebut antar
lain, jarak dan waktu bukan lagi kendala yang utama munculnya system pembelian
dengan cara on-line, dan gejala-gejalah yang terjadi adanya perubahan-perubahan di sisi hokum,
pranata social dan juga adanya pergeseran-pergeseran nilai-nilai budaya dan
agama.
Pada dasarnya
informasi yang ada, bisa memiliki nilai baik – buruk, benarsalah tergantung
dari persepsi orang yang mengakses informasi tersebut. Jadi informasi itu
sendiri sebenarnya netral. Sebagaimana sebuah pisau, bisa dinilai baik – atau
buruk, benar – salah tergantung siapa dan untuk apa pisau itu digunakan. Sama
dengan informasi bisa jadi benar – salah, atau baik – buruk tergantung pada
siapa dan untuk apa informasi itu diakses. Informasi pada dasarnya bersifat
netral. Artinya akibat dan efek informasi bagi seseorang atau masyarakat atau
Negara tergantung pada kepandaian dan kepiawaian penerima informasi itu. Saat
ini sumber-sumber informasi sangat banyak dan beragam serta tersebar
dimana-mana. Sangat sulit untuk membatasi atau membentengi suatu informasi
untuk tidak sampai pada seseorang, masyarakat, atau Negara tertentu. Langkah
yang bijak adalah bukannya menghalangi hadirnya informasi yang sudah real time
ini, akan tetapi masyarakat informasi
diharapkan dan dipersiapkan bisa menangani, menerima, menilai, memutuskan dan
memilih informasi yang tersedia. Kesiapan kondisi psikis, social dan budaya
masyarakat informasi agar menangani, menerima, menilai, memutuskan dan memilih
informasi bagi mereka sendiri akan lebih efektif dan mendewasakan mereka untuk
bisa mengelola informasi dengan lebih baik. Dengan kemajuan teknologi
informasi, maka masyarakat informasi akan mendapatkan kemudahan dalam mengakses
, mempergunakan dan menyebarkan informasi. Beberapa hal yang perlu
dipertimbangkan dan direnungkan berkaitan dengan kemajuan teknologi informasi
ini serta dampak yang diakibatkan dalam perspektif social dan budaya.
DAMPAK TEKNOLOGI INFORMASI TERHADAP
SOSIAL DAN BUDAYA
Tak dapat dipungkiri
bahwa faktor kemajuan peradaban dunia sebagai indikasi kemajuan berfikir umat
manusia, tak salah apabila disebut bahwa umat manusia dewasa ini telah
dihadapkan pada situasi yang serba maju, instant dan pola pemikiran yang
kritis. Kemajuan peradaban itu banyak mengakibatkan perubahan di segala aspek
kehidupan individu, keluarga, masyarakat, bernegara maupun berbangsa. Banyak di
antara masyarakat itu menerima perubahan peradaban itu sebagai sesuatu yang
lumrah sebagai sebuah proses yang harus dijalani, dimaklumi dan kehadirannya
senantiasa menimbulkan berbagai perubahan dalam praktiknya. Sehingga memaksa
masyarakat budaya, mau tak mau atau sadar atau tidak sadar diperhadapkan pada
situasi yang sulit antara menerima perubahan perdaban itu (karena tidak ingin
dianggap kolot) atau menolak perubahan itu kendatipun dianggap primitif,
konvensional dan ortodoks. Perselisihan atau tepatnya perbedaan pemikiran
seperti itu dapat muncul sebagai reaksi terhadap berbagai tindakan yang bagi
sebagian orang bergerak seolaholah meninggalkan kebudayaannya sedang sebagian
orang ingin mempertahankannya sebagai sebuah warisan leluhur bersama (common
heritage) yang wajib dijaga dan dilestarikan.
Fenomena berikutnya adalah diakibatkan oleh
mobilitas tanpa limit, dimana manusia tidak lagi dapat begitu saja dihempang
dalam mobilitasnya. Katakan saja, andai seseorang ingin bepergian ke tempat
lain (negara Lain) maka tak seorangpun yang dapat menghempangnya apabila ia
telah menetapkan bahwa ia harus berangkat. Keadaan ini juga mengakibatkan
adanya perpaduan (assimilation) di tempat baru dimana ia berpijak, sehingga
melahirkan penilaian apa yang diperoleh, diidolakan sebelumnya dengan dimana ia
tinggal dan lihat.
Informasi juga sudah
tidak dapat dibatasi lagi dengan batasan-batasan territorial, ras, agama,
Negara dan budaya yang ada. Dengan kemajuan teknologi informasi, maka informasi
dapat diperoleh secara real time, anywhere dan anytime. Penilaian itu dapat
saja memicu lahirnya interpretasi bahwa apa yang melekat pada dirinya ketika
memutuskan untuk bepergian itu dinilai sebagai sesuatu yang kolot, tradisional
dan tertinggal. Ia kemudian mengenakan berbagai atribut yang dianggap sebagai
simbolisasi budaya maju seperti kritis, egoisme, dan materialistis. Kondisi
lain adalah meningkatnya mobilitas sekolah antara negara dimana juga telah
mempengaruhi pengakuan terhadap budaya lokalnya. Keadaan dimana sipelaku
diperhadapkan pada situasi dan alternatif yang kritis seperti itu telah menciptakan
adanya anggapan bahwa budaya (lokal) tidak mampu menyaingi budaya (global) yang
sedang mendunia.
Namun demikian, bagi
sebahagian orang tidak demikilan, bahwa budaya lokal senantiasa akan bertahan
(lestari) apabila sipelaku tidak membiarkan budaya (lokal)-nya itu tidak
tertindas, tidak tradisional dan tidak terbelakang apabila terdapat upaya
sipelaku memajukan atau melakukan perubahan (innovation) dan penerapan
(invention) terhadap apa yang disebut dengan budaya lokalnya itu. Lantas dalam
situasi yang demikian ini dimana kemajuan zaman dan pola berfikir manusia tidak
lagi dapat dibatasi, serta tingginya faktor komunikasi dan media penyampai,
seberapa jauhkah budaya lokal itu dapat bertahan? Tak dapat disangsikan bahwa
kemajuan pemikiran manusia yang senantiasa berupaya untuk menghasilkan hal-hal
baru dalam hidupnya adalah hal wajar yang dilakukan sebagai makhluk yang
berakal. Berangkat dari asumsi bahwa pemikiran manusia akan senantiasa merubah
kondisi sosial, maka hal yang demikian itu dapat diterima secara mutlak. Pada
dasarnya perubahan itu dilakukan dalam upaya meningkatkan kualitas hidup,
peradaban (civilzation) dan kesempurnaan hidupnya yang meskipun pada dasarnya
akan senantiasa juga dapat menimbulkan dampak negatif bagi peradaban itu
sendiri. Katakanlah, kebiasaan manusia mengkonsumsi (membeli) makanan yang
serba instant, tanpa ada upaya untuk membuatnya, akan melemahkan dan
memandulkan kreativitas. Belum lagi hal yang serupa itu diterima dan meresap
pada diri anak-anak, maka seumur hidupnya akan menjadi pengkonsumsi utama tanpa
adanya niat untuk mencoba membuatnya dengan keinginan sendiri. Alhasil,
generasi yang muncul berikutnya adalah generasi yang nirkreativitas.
Perubahan sosial, baik yang direncanakan
maupun yang tidak dapat dikategorikan ke dalam hal di atas yang pada intinya
adalah pengupayaan ke arah yang lebih baik dengan mencoba mereduksi dampak
negatif dari social change itu. Siklusnya dapat dicerna melalui adanya rekayasa
sosial (social engineering), rekontruksi sosial (social recontruction). Pada
tahap ini akan muncul sikap menerima (receive) ataupun berupaya menolaknya
(defence). Kemudian, dalam upaya menghindari bentrok budaya (paling tidak dalam
paradigma) pemikiran) maka pada saat itu dibutuhkan agen-agen perubahan (social
agent) sebagai media penyampai agenda perubahan itu. Apabila, perubahan itu
muncul sebagai yang tidak direncanakan, maka peran itu akan digantikan oleh
sosok atau figure yang dapat menjembatani perubahan yang sedang terjadi.
Dengan begitu,
perubahan yang sedang terjadi dan akan terjadi, maupun yang direncanakan
ataupun tidak (kurang) direncanakan tidak akan mengalami benturan kebudayaan
(peradaban) pada masyarakat kekinian. Justru dengan demikian, yang tengah
terjadi adalah pemerkayaan khasanah kebudayaan dan bukan pergeseran. Dengan
begitu, hipotesa kebudayaan selanjutnya adalah bahwa tidak akan pernah terjadi
pergeseran kebudayaan apalagi upaya meninggalkan budaya lokal itu yang meskipun
pada tataran performa seolah-olah kebudayaan itu telah bergeser atau ditinggalkan.
Perubahan yang demikian itu justru harus dimaknai sebagai upaya pemberdayaan
dan pemerkayaan kebudayaan itu sendiri sebagai system makna (system of
meaning). Trend Global membuat suatu hal yang tak dapat dielak dan dipungkiri
bahwa pola kehidupan manusia pada saat ini adalah bahwa manusia kini dihadapkan
pada situasi yang ambigu. Menolak dan menerima perubahan sosial sebagai dampak
kemajuan. Opsi untuk menolak dihantui oleh resistensi dari dalam diri pribadi
dan lingkungan yang secara phisikologis akan turut mempengaruhi penolakan itu.
Yaitu adanya ketakutan terhadap anggapan sebagai person yang primitif,
tradisional dan konvensional.
Sementara untuk
menerima perubahan itu juga menimbulkan benturan psikologis dimana seseorang
pelaku itu dicap sebagai orang yang kurang (tidak) menghargai kebudayaannya.
Situasi yang demikian itu adalah opsi yang begitu sulit untuk dapat diterima,
secara psikologis menjadi hambatan utama antara opsi menerima dan menolak. Akan
tetapi, kecenderungan yang terjadi adalah bahwa perubahan itu adalah suatu hal
yang tidak mungkin dapat dibatasi apalagi dihempaskan. Justru, kepiawaian kita
dalam menerjemahkan perubahan itu ke dalam diri kita sendiri, meresap dalam
diri kita, kemudian akan memancarkan aura perubahan terhadap sikap dan prilaku
kita. Dengan begitu, apakah hal yang demikian itu juga disebut telah merubah
kebudayaan? Tentu jawabnya adalah tidak. Perubahan yang terjadi dewasa ini
adalah kewajiban yang harus diterima, dan oleh sebab itu maka yang terjadi di
seputar perubahan itu adalah trend ataupun kecenderungan yang senantiasa
dimaknai.
Tantangan yang justru
dihadapi adalah sampai seberapa jauh kita mampu memadukan perubahan dengan
kebudayaan itu? Namun demikian, maksud utamanya adalah bukan dengan menolak
kebudayaan global yang sedang mendunia. Di sini dibutuhkan pemahaman dan
pengertian kita untuk menerjemahkan perubahan itu sehingga tidak menimbulkan
distorsi bagi kepribadian dan kebudayaan yang menggejala. Kekuatannya justru
terletak pada diri kita sendiri bahwa apa yang akan kita ambil dan maknai dari
perubahan itu, dan seberapa mampukah kita menerjemahkannya ke dalam kebudayaan
kita. Apakah seorang Batak yang modern adalah orang yang tidak (lagi)
menggunakan budaya Batak itu dalam kehidupannya sehari-hari? Apakah orang Jawa
akan dikenal sebagai orang yang tidak maju apabila atribut Kulonuwun masih
menempel pada dirinya? Lantas bagaimana pula kebudayaan yang lahir akibat
perpaduan dua unsur budaya suku yang berbeda akibat adanya kawin campur,
misalnya orang Batak dengan Jawa? Orang Canada dengan orang Jawa ? Keutamaan
dari pola seperti ini adalah adanya pemerkayaan budaya lokal itu sendiri yakni
pencapaian ke arah peradaban yang lebih sempurna. Anggapan itu dapat dimaknai
sebagai dampak perubahan terutama dalam menghargai waktu, benda dan segala
bentuk ragam unsur budaya. Atribut-atribut budaya lokal seolah-olah terancam
akibat budaya global seperti masuknya berbagai komoditas global, pengaruh dan
tindakan yang dipancarluaskan oleh berbagai media informasi, seperti Internet,
PC Multimedia, TV dan media cetak lainnya. Akibatnya kita akan lebih menghargai
semua itu dengan waktu dan dengan adanya tuntutan tugas yang mesti dilakukan.
Keadaan ini justru akan merubah kita yang tanpa disengaja telah melahirkan
berbagai interpretasi atas diri dan prilaku kita. Dalam pada itu, situasi dan
kondisi dimana budaya lokal akan dipertaruhkan di tengah kancah kebudayaan
global, sepertinya melahirkan kontroversi dan paradigma yang berbeda dalam
memandang budaya global itu. Sebahagian tidak menginginkan adanya perubahan
dalam kelokalan budayanya dan tanpa disadari tindakan yang dilakukan telah
merubah keaslian kebudayaan itu. Justru dengan begitu, kita dapat memaknai
bahwa perubahan itu akan senantiasa terjadi dan tanpa kita sadari akan meresapi
diri kita dan masuk ke dalam pola perilaku dan tindakan kita. Oleh karenanya,
kebudayaan akan semakin mantap, bertahan dan lestari. Pertanyaan terakhir
adalah menyangkut kita sebagai pemuja kebudayaan (idols of culture) kita.
Adakah kita berupaya memajukan kebudayaan kita itu, atau malah membiarkan
budaya kita itu terlindas oleh budaya global? Dan sampai sejauh manakah
pengakuan kita terhadap kebudayaan kita itu? Oleh karenanya, penting dilakukan
kembali kaji ulang terhadap kepribadian kita yakni bukan secara langsung
melontarkan bahwa kebudayaan kita itu adalah tidak maju, tidak modern dan
miskin dan terbelakang. Jika demikian yang terjadi maka kebudayaan kita itu
akan mengalami pendangkalan makna akibat erosi pemerkayaan dan pemajuan budaya
lokal itu
Tidak ada komentar:
Posting Komentar